Bebas dari Hoaks melalui Literasi Digital Profetik

8 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

fenti 069

Informasi yang dikumpulkan dan disebarluaskan dipengaruhi oleh era digital yang terus berubah. Media sosial digunakan sebagai sumber berita, pandangan, dan wacana publik yang dominan. Namun di satu sisi ia menawarkan kecepatan akses, di sisi lain ia melahirkan ancaman besar yang terorganisir, yaitu penyebaran hoaks dan disinformasi yang masif. Fenomena ini bukan lagi sekadar gangguan kecil, melainkan telah menjelma menjadi instrumen perusak kohesi sosial. Bagi umat Islam, fenomena tersebut merupakan masalah moral dan spiritual daripada masalah sosial. Menyebarkan kebohongan dalam konteks Islam bertentangan dengan prinsip tabayyun, yang didefinisikan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat [49]: 6 Agar kita selalu memeriksa kebenaran setiap informasi yang diterima, terutama jika datang dari sumber yang belum pasti kredibilitasnya. Rendahnya tingkat literasi digital, terutama di kalangan generasi muda, berkontribusi pada penyebaran berita palsu dan menyebabkan konflik sosial. Data dan pengamatan lapangan mengindikasikan bahwa tantangan utama pendidikan Islam di era digital adalah rendahnya kemampuan berpikir kritis dan etika bermedia yang kuat. Oleh karena itu, diperlukan sebuah solusi etis dan terstruktur. Penguatan Literasi Digital Profetik menjadi sebuah keniscayaan, bukan sekadar pelengkap kurikulum. Konsep ini hadir sebagai kerangka kerja moral dan intelektual yang sangat penting, tidak hanya untuk secara efektif melawan gelombang hoaks dan disinformasi, tetapi yang lebih fundamental, untuk membentuk masyarakat Muslim yang cerdas, beretika tinggi, dan beriman dalam menjalani kehidupan di ruang publik digital. 

Konsep literasi digital profetik berakar pada gagasan ilmu sosial profetik (ISP) yang dikemukakan Kuntowijoyo (1991).ISP adalah paradigma pemikiran Islam yang mencoba mengintegrasikan dimensi transendental (ketuhanan) ke dalam analisis dan tindakan sosial. ISP menekankan tiga nilai inti: kemanusiaan (amar ma’ruf), kebebasan (Nahy al-Munkar), dan transendensi (tu’minūna billāh). Nilai-nilai ini menjadi fondasi moral dalam menghadapi derasnya arus informasi digital yang sering kali tidak netral. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1. Nilai humanistik (Amar Ma’ruf) 

Nilai humanistik membimbing pengguna media digital untuk menggunakan teknologi dengan tujuan menghormati kemanusiaan. Mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam keterampilan literasi digital akan membantu membentuk generasi milenial yang tidak hanya melek teknologi tetapi juga berkarakter. Melalui prinsip-prinsip humanistik, media sosial dapat menjadi tempat untuk menyebarkan kebaikan dan menumbuhkan empati digital, alih-alih sekadar untuk debat dan kebencian.  

2. Nilai liberal (Nahy al-Munkar)

Nilai liberalmenekankan pentingnya pembebasan dari jerat penindasan informasi, kendali pikiran, dan algoritma. Pendidikan Islam, dalam arti Ulul Al-Bab, berperan dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam untuk menjawab tantangan era digital. Nilai Nahi al-Munkar ini membimbing manusia tidak hanya untuk memanfaatkan informasi, tetapi juga untuk mengoreksi kesalahan dan menentang kebohongan yang merusak kehidupan sosial. 

3. Nilai Transendensi (Tu’minūna Billāh)

Nilai Transendensi menempatkan aktivitas bermedia sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual. Dalam Islam, setiap perkataan dan tindakan, termasuk di dunia digital, memiliki konsekuensi moral di mata Tuhan. Filosofi berbasis agama menjadikan teknologi bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana ibadah dan dakwah. Dengan mengintegrasikan ketiga nilai profetik tersebut, pembelajaran digital telah menjadi solusi sempurna bagi tantangan era ketidakpastian. Pembelajaran digital tidak hanya meningkatkan efisiensi pengguna, tetapi juga memperkuat hakikat spiritual dalam bermedia. Masyarakat yang cerdas akan lebih kritis, bijaksana, dan mampu menjaga harmoni sosial di ruang publik digital. 

Hoaks adalah bentuk perbudakan informasi modern yang menjerat kesadaran manusia dan merusak persaudaraan umat. Untuk benar-benar bebas dari hoaks, umat Islam perlu memahami bahwa literasi digital bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal akhlak dan tanggung jawab moral. Literasi digital profetik menawarkan jalan tengah antara kemajuan teknologi dan kedalaman nilai-nilai iman. Dengan menjadikan iman sebagai kompas moral, setiap individu dituntun untuk berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi. Prinsip humanisasi, liberasi, dan transendensi memberi arah agar umat tidak sekadar melek digital, tetapi juga beradab dalam bermedia. Literasi semacam ini menumbuhkan tanggung jawab sosial, memperkuat ukhuwah, dan menjadikan media sebagai ruang dakwah yang menebar kebenaran, bukan fitnah. Dengan demikian, kebebasan dari hoaks bukan hanya persoalan kemampuan teknis, tetapi bentuk kematangan moral dan spiritual. Saat umat Islam mempraktikkan literasi digital profetik dalam kesehariannya, maka ruang digital akan berubah menjadi wahana pencerahan tempat di mana ilmu, akhlak, dan iman berpadu untuk menghadirkan kedamaian serta kebenaran di tengah derasnya arus informasi.

Bagikan Artikel Ini
img-content
fenti nur

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler